Jakarta — Upaya keadilan restoratif dalam kasus tabrak lari yang menewaskan Supardi (82) akhirnya kandas. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan untuk mengalihkan status penahanan terdakwa Ivon Setia Anggara (65) dari tahanan kota menjadi tahanan di rumah tahanan (rutan).
Langkah ini diambil lantaran terdakwa dinilai tidak menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf kepada keluarga korban, meski sebelumnya telah diberikan kesempatan oleh pengadilan.
“Sejak hari ini, Kamis, kami mengalihkan status penahanan terdakwa dan dilakukan penahanan hingga 20 Oktober 2025,” ujar Hakim Hapsari Retno Widowulan saat sidang di PN Jakarta Utara, Kamis (9/10/2025).
Harapan Keadilan Restoratif yang Tak Terjawab
Hakim Hapsari menjelaskan, pemberian status tahanan kota sebelumnya dimaksudkan agar terdakwa dapat melakukan pendekatan personal kepada keluarga korban, sebagai bagian dari upaya mencapai keadilan restoratif (restorative justice).
Namun, menurut hakim, hingga sidang putusan digelar, Ivon tak pernah sekalipun menemui keluarga korban ataupun menyampaikan permintaan maaf.
“Terdakwa sudah berumur, seharusnya bisa menunjukkan sikap menyesal dan meminta maaf. Tapi itu tidak dilakukan hingga hari ini,” tegas Hapsari.
Majelis hakim menilai, kegagalan terdakwa menjalankan itikad baik itu memperkuat alasan untuk mencabut status tahanan kota dan memindahkannya ke rutan.
“Setelah sidang putusan ini, terdakwa langsung dibawa ke rumah tahanan,” tambahnya.
Keluarga Korban: Penahanan Terlambat, Tapi Penting
Langkah hakim ini disambut lega namun juga getir oleh pihak keluarga korban. Haposan, anak dari Supardi, menilai keputusan penahanan tersebut sudah seharusnya dilakukan sejak awal.
“Dia (terdakwa) bisa ke mana-mana, belanja di pasar, dan saya punya videonya. Saya sudah laporkan ke pengadilan,” ujar Haposan seusai sidang.
Menurut Haposan, pihak keluarga sudah berulang kali meminta agar Ivon ditahan di rutan, mengingat korban meninggal dunia akibat perbuatannya. Namun permintaan itu baru dikabulkan setelah sidang vonis berlangsung.
“Ini sudah terlambat. Bahkan rekomendasi hakim agar dia datang ke rumah kami tidak dilakukan,” tegasnya.
Surat Permohonan dan Bukti Kesehatan yang Dipersoalkan
Sebelumnya, keluarga Supardi telah mengirimkan surat resmi kepada Ketua PN Jakarta Utara, memohon agar status tahanan kota terhadap Ivon dicabut dan diganti menjadi tahanan rutan.
Dalam surat itu, keluarga melampirkan bukti-bukti rekaman dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa terdakwa masih sehat dan beraktivitas normal, berbeda dengan alasan yang disampaikan pihak kuasa hukum terdakwa tentang kondisi kesehatan.
“Kami sudah sertakan lampiran-lampiran bahwa terdakwa sehat walafiat. Jadi alasan sakit itu tidak benar,” kata Haposan.
Ia berharap langkah tegas majelis hakim kali ini dapat menjadi bentuk keadilan yang sebenarnya, setelah berbulan-bulan menunggu proses hukum berjalan lambat.
Riwayat Panjang Status Penahanan Ivon
Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Utara:
- 13–27 Mei 2025: Ivon ditahan penyidik, sesuai surat bernomor Sprin.han/04/V/2025/LLJU.
- 16 Juli–4 Agustus 2025: Status berubah menjadi tahanan kota oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
- 23 Juli–21 Agustus 2025: Hakim memperpanjang status tahanan kota lewat surat No. 680/Pid.Sus/2025/PN Jkt.Utr.
- 22 Agustus–kini: Ketua PN Jakut kembali memperpanjang status tahanan kota — hingga akhirnya dialihkan ke rutan setelah sidang putusan Kamis kemarin.
Antara Keadilan dan Kemanusiaan
Kasus ini menjadi refleksi tentang rapuhnya empati dan tanggung jawab dalam kecelakaan lalu lintas. Di balik dalih kelalaian, ada nyawa yang hilang dan keluarga yang terluka.
Kini, dengan pengalihan penahanan ke rutan, pengadilan mengirimkan pesan jelas:
keadilan restoratif bukan sekadar kata, tapi membutuhkan ketulusan dan keberanian moral untuk meminta maaf.
“Kami hanya ingin keadilan. Bukan balas dendam, tapi agar tak ada lagi keluarga yang mengalami hal seperti kami,” tutur Haposan dengan nada lirih.
Kasus tabrak lari di Grisenda menjadi pelajaran pahit bahwa hukum bisa menegakkan keadilan, namun nurani manusia tetap memegang peran utama dalam memulihkan luka.
(Redaksi)